Masih lekat dalam ingatan di akhir Juli 2015. Pagi itu, 29 Juli 2015 aku bersiap kembali ke tanah air seusai libur Lebaran yang cukup panjang. Dua jam sebelum jadwal terbang maskapai berbiaya rendah yang tiketnya kupegang, aku sudah berada di dalam taksi. Setengah jam kemudian, aku sudah tiba di Bandara Internasional Changi.
Antrean check in, penyerahan bagasi dan proses imigrasi berjalan lancar. Aku melangkah santai dan ringan berkeliling melakukan window shopping. Akhirnya pandanganku tertuju pada sebuah tote bag dan melakukan pembelian.
Ketika sudah bersiap menuju gerbang keberangkatan (menuju nomor gate yang tertera di boarding pass), petugas meminta aku mengikuti undian terlebih dahulu. Aku menunjukkan boarding pass dan dia mengatakan masih ada waktu.
Baca juga: "Transit 6, 8, Atau 16 Jam di Singapura Bisa Ke Mana Aja?"
Selesai urusan undian, aku bergegas menuju gerbang keberangkatan, dan ternyata lokasinya cukup jauh. Meskipun kutempuh dengan setengah berlari, tapi begitu tiba di depan gate, tulisan di layar baru saja diganti: Gate Closed. Di ruang X-Ray kulihat masih ada 2 penumpang. Aku tetap mencoba masuk, tapi dihalangi 2 orang petugas yang berbadan besar.
Sekitar 5 menit kemudian petugas laki-laki dengan penuh senyum datang menghampiriku. Dengan bahasa Inggris berlogat Melayu, dia mengatakan kalau kapten sudah memutuskan untuk menutup pintu pesawat dan tidak mau menunggu. Padahal jelas-jelas tadi masih ada 2 penumpang di saat yang berbarengan denganku.
Baca juga: "Ini Dia Alternatif Liburan di Sekitar Jakarta yang Aman Saat Pandemi"
Argumentasiku disambut dengan senyum. Petugas itu melanjutkan kalau bagasiku juga sudah diturunkan. Masih dengan senyum, dia memberiku dua pilihan. Pilihan pertama adalah mengantarku untuk keluar kembali melewati bagian imigrasi. Pilihan kedua adalah membeli tiket baru untuk penerbangan selanjutnya.
Melihat aku bingung, wajah petugas itu semakin ceria. Dia memintaku untuk cepat mengambil keputusan. Karena pikiranku sudah tiba di tanah air, akhirnya aku memilih pilihan kedua. Penerbangan berikutnya sudah penuh. Tapi penerbangan di sore hari masih ada senilai SGD 200.
Itulah 5 jam paling menyakitkan yang aku rasakan di Bandara Changi. Aku hanya terduduk lemas di sebuah kedai kopi internasional. Tidak ada lagi hasrat berkeliling, apalagi window shopping. Istilah mati gaya rasanya yang paling tepat menggambarkan suasana saat itu. Aku terus memandangi mereka yang berlalu-lalang dan bergegas.
Baca juga: "Saat 'Pil Pahit' Virus Corona Terpaksa Ditelan Para Travellers"
Pengalaman menyakitkan itu memberikan pelajaran yang luar biasa. Selanjutnya aku selalu menunggu boarding di gerbang keberangkatan lebih awal. Sudah check in, apalagi sekarang ini dilakukan secara online, bukanlah jaminan tidak akan ketinggalan pesawat atau tepatnya ditinggal pesawat.
Semoga pandemi Covid-19 ini segera berlalu dan penerbangan internasional dibuka kembali.
Hello, Here’s something useful: http://www.jus-orange.fr/tracking/cpc.php?ids=1530&idv=1781&sid=&email=&nom=&prenom=&civ=&cp=&redirect=http2F/boanusb.com2Flink.asp3Dweb_log3D583Dhttps2F/33poker.net Faithfully, Carrie
2024-10-16Hi, I came across an outstanding daycare directory website that's perfect for finding childcare near you. https://come.ac/Daycare589182 Kind regards, Jonnie Headrick
2024-10-08