Cirebon, pagi-pagi setelah semalaman hujan deras. Beberapa tim pemkot nampak tergopoh-gopoh membuka tutup got, karena di malam sebelumnya banyak titik Kota Cirebon terendam banjir. Namun ini tidak menyurutkan niat jajaran mobil yang sudah parkir di sisi jalan Dr. Cipto Mangunkusumo Cirebon. “Beli handphone gratis kambing” kata spanduk di sebelah kanan jalan. Welcome to Cirebon!
Kalau biasanya bisa milih-milih, kami mengorbankan kegiatan ini karena kuatir korona. Akhirnya, saya hanya titip pesan pada istri: “Pilih yang terbaik ya buat akyu!” Dalam hati, saya pesimis dapat paru goreng, karena istri saya tidak suka jeroan!
Baca juga: "Short Escape Seharian ke Cirebon, ke Mana Saja?"
Namun, saya mengembuskan napas lega ketika istri saya kembali ke mobil setelah agak lama, dengan tiga bungkus nasi dalam daun jati dan dua bungkus lauk-pauk. Nampak menyembul sepotong paru goreng yang segar, yang segera menerbitkan selera saya. Mantap!
Paru goreng
Nasi Jamblang khas Cirebon bisa melacak sejarahnya sampai proyek pembuatan jalan Anyer-Panarukan oleh Gubernur Jenderal Daendels di tahun 1808. Konon, dana pemerintah habis ketika jalan sampai di Kecamatan Jamblang, sehingga Daendels meminta bupati lokal ikut patungan dengan menyediakan makanan untuk pekerja. Dimulailah salah satu operasi catering terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan teknik nasi bungkus daun jati supaya bisa didistribusikan ke lapangan. Boleh jadi, budaya pilih-pilih ala “warteg” juga berasal dari sini!
Saya membuka bungkusan lauk. Paru goreng yang masih hangat dan segar langsung ‘dibintangin’ saking enaknya. Kemudian semur tahu, khas Jamblang, serta sambalnya yang dari irisan cabai, segera memberikan sensasi sedap di mulut. Ada perkedel kentang: versi kenyal, mungkin sedikit dicampur adonan kentang halus, tetapi tetap mengandung bongkahan kentang, serta permukaan luar yang coklat keemasan. Sedap, gurih, pas. Lalu, sebongkah gorengan nampak menggoda.
Perkedel kentang versi kenyal
Apa ini? “Tempe kata orangnya,” jawab istri saya. Pas saya gigit, bukan tempe! Warnanya kehitaman, rasa sedikit asam, gurih protein nabati, sedikit asin, dengan aroma fermentasi. Ini dage, fermentasi ampas tahu dari Cirebon, yang digoreng dengan tepung. Hangat, gurih, sedap nian dan menawarkan sensasi yang berbeda dengan tempe goreng biasa. Mantap! Tapi, kok ada yang kurang... Apa ya?
Dage, fermentasi ampas tahu dari Cirebon, yang digoreng dengan tepung
“Say, kok nggak ada cumi item?” tanya saya. Blakutak alias cumi dimasak tinta hitam ini, memang jadi andalan Cirebon. “Sengaja adanya di lauk saya, supaya kita bisa berbagi!” jawab istri, lalu menawarkan saya mengambil seekor cumi hitam dari lauknya. Cuminya segar, telurnya banyak, rasanya asin-gurih dengan aroma laut unik yang dibawa oleh tintanya. Luar biyasa! Sambil tersenyum manja, istri saya mengunyah 3-4 cumi lagi yang masih ada di lauknya, sementara saya cuma kebagian satu. Saya membalas senyum dengan memasang muka “Purbalingga”: Pura-pura Bahagia Padahal Engga, hehehe!
Baca juga: "Goyang Karawang Berbungkus Daun Pisang"
Nasi Jamblang Mang Dul, sarapan yang sempurna!
Nasi Jamblang Mang Dul
Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo
Pekiringan, Cirebon
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia.