Parende Ikan, menu khas Wakatobi
“Biar kamu tidak bisa berenang, bukan berarti kamu tidak bisa menikmati lautan…” – La Aona. Sebuah petuah sederhana. Tapi kaya makna. Petuah yang mengenalkan saya akan macam citarasa ikan. Ada ikan rasa pancing. Ikan rasa pukat. Ikan rasa bom potas. Dan ikan rasa tombak.
“Ini jaket pelampungnya mana?” selidik saya penuh curiga. Saya melihat perahu kecil yang akan mengantar kami ke tengah laut. Terombang-ambing digoyang ombak. La Sa’adli dan anaknya bingung tidak tahu harus menjawab apa. Mereka tidak pernah pakai itu yang namanya pelampung.
Rekan lokal saya tertawa kecil. “Mbak Lisa bikin malu nenek moyang saja. Masak takut sama laut?” sindirnya. Dia tidak tahu kalau saya tidak bisa berenang. Saya takut sama lautan luas.
Bayangan La Aona akhirnya membulatkan keberanian. Saya harus bisa menikmati laut. Maka turunlah saya ke kapal. Dan berangkatlah kami.
Saya, La Sa’adli, ikan rasa tombak, dan lautan
Langit kala itu cerah kebiruan. Kontras dengan warna laut yang biru kehitaman. Ya Tuhan! Ini lautnya sudah dalam… Kapal kami sudah berada jauh dari Kampung Bajo Sampela/Desa Sama Bahari di Pulau Kaledupa, salah satu pulau di Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara. Pulau Hoga, pulau lain di Wakatobi, nampak terlihat di kejauhan.
Desa Sama Bahari di Pulau Kaledupa, desa terapung, kediaman suku Bajo
La Sa’adli membuang jangkar. Entah mengapa, pelan-pelan saya mulai menikmati semilir angin dan goyangan kapal. Ada rasa percaya yang sangat dalam. Rasa percaya pada saudara. Saudaraku suku Bajo… Konon katanya mereka bisa menyelam tanpa alat bantu. Memburu ikan hanya menggunakan tombak dan carumeng, alias kacamata selam dari cermin kaca dan kayu.
La Sa'sdli siap menyelam
Byurrr! La Sa’adli pun terjun bebas menyelam. Lengkap dengan tombak dan carumengnya. Tanpa tabung udara seperti layaknya para penyelam.
Kami tinggal menunggu… Dan menunggu di tengah sunyi waktu.
Tiba-tiba, rekan lokal saya menunjuk ke arah timur kapal. Oh ternyata La Sa’adli sudah muncul ke permukaan. Dengan ikan-ikan tertusuk di tombaknya. Lalu diantarkan ke atas kapal. Badan mereka yang mulus dan berkilat masih menggelepar. Hanya ada satu luka tusukan. Persis dekat insang.
Hanya ada satu luka tusukan dekat insang
Belum pernah saya menyaksikan ikan begitu bahagia di ujung kematiannya. Pancar matanya begitu hidup walau ia sadar akan segera meregang nyawa. Mungkin ini yang namanya kematian yang membahagiakan! Ikan yang mati dengan bahagia untuk memberi kehidupan pada banyak manusia.
Menangkap ikan bersama suku Bajo adalah pengalaman luar biasa bagi saya. Masih terekam jelas di ingatan bagaimana laut mengubah rasa takut menjadi bahagia. Ketika saya tiba di dermaga dan menenteng ikan-ikan hasil buruan La Sa’adli. Lalu disambut seisi rumah karena saya pulang membawa makanan.
Ikan-ikan hasil tangkapan dengan spearfishing ala suku Bajo
Menu makan malam kami waktu itu adalah Perangi Ikan. Mirip seperti Gohu khas Maluku atau Ceviche khas Peru. Hanya saja Perangi Ikan menggunakan irisan mangga muda. Petik dari hutan. Sangat sederhana dalam bumbu. Tapi soal rasa, wah… jangan ditanya! Apalagi ketika disandingkan dengan Kasoami, parutan singkong yang dikukus dengan garam dan kelapa.
Perangi Ikan
Kasoami yang baru diangkat dari kukusan
Ukuran ikan cukup besar. Masih ada sisa untuk esok hari. Tapi tidak ada kulkas di sini. Maklum, listrik hanya menyala dari sore hari sampai subuh. Besok sudah pasti busuk ikannya. Pikir saya. Tapi juru masak kami dengan santainya meletakkan sisa ikan dalam ember plastik. Hanya ia tutupi dengan daun pisang. Katanya, ikan yang ditangkap dengan cara tombak suku Bajo tidak akan busuk sampai besok. Hah? Pakai sihir, ya?
Benar saja. Besok sarapan kami adalah Parende Ikan. Menu khas Wakatobi. Ikan sisa kemarin dimasak dalam kuah dengan ulekan bawang merah, garam, kunyit, sereh, cabe merah keriting dan daun kedondong hutan. Luar biasa! Tekstur daging ikan masih kenyal. Bahkan tidak ada bau amis.
Tak heran suku Bajo mendunia.
Banyak film bercerita mengenai kehebatan teknik selam bebas mereka. La Sa’adli mampu menyelam selama 17 menit tanpa bantuan tabung udara. Angka itu tertera di jam sukat (stopwatch) yang terdapat di telepon genggam rekan lokal saya.
Baca juga: "Tahukah Kalian Ada Garam Bawah Tanah di Adan Krayan Kalimantan Utara"
Namun bagi saya, La Sa’adli dan suku Bajo bukan sekadar hebat di teknik menyelam. La Sa’adli mengajarkan saya untuk menikmati lautan tanpa harus bisa berenang. Dengan ikan rasa tombaknya.
Saya mengenang petuah bijak La Aona dan pengalaman citarasa dari La Sa’adli. Sambil makan ikan tentu saja.
Ikan yang menuai beberapa buah renungan. Izinkan saya membagikannya pada teman-teman semua...
"Biar kamu bukan lulusan perguruan tinggi, bukan berarti kamu tidak bisa menikmati makna pendidikan."
"Biar kamu belum pernah makan di restoran Michelin Star, bukan berarti kamu tidak bisa menikmati makna makanan."
"Dan biar kamu belum meraih banyak kesuksesan, bukan berarti kamu tidak bisa menikmati makna kebahagiaan."
Semoga ikan-ikan yang pernah saya makan bahagia hidupnya!
Baca juga: "Tempat di Mana Ikan Dibarter dengan Solar"
Tentang penulis: Lisa Virgiano adalah seorang petualang citarasa. Pembaca bisa menemuinya ketika ia berburu ikan bersama suku Bajo di Wakatobi, membuat pupuk lapis bersama petani biodinamik di Uttar Pradesh India, atau menikmati sensualnya roti foccacia di kota kecil Altamura Italia. Bersama dengan Kaum, ia telah sukses memperkenalkan ragam makanan Indonesia ke warga dunia.