Stegodon, gajah purba yang hidup di Sangiran ratusan tahun lalu
“Jangan berharap banyak ya…” pesan saya pada teman-teman yang baru pertama kali ke sini. Maklum, saya sudah pernah ke sini tahun 2006 dulu. Kami sedang berkendara menuju Museum Manusia Purba Sangiran klaster Krikilan, sekitar 45 menit dari Kota Solo.
Sangiran sebenarnya adalah kawasan penting, salah satu Warisan Dunia UNESCO di Indonesia. Di sinilah tempat ditemukannya fosil Meganthropus paleojavanicus oleh Von Koenigswald tahun 1941, fosil manusia purba yang disebut sebagai “missing link” atau bagian yang hilang dari untaian jalur evolusi manusia. Apalagi, kali ini saya jauh-jauh dari Jakarta ke Solo membawa teman-teman penjelajah dunia. Bagaimana kalau mereka kecewa, karena museumnya “gitu doang” seperti yang saya lihat dulu? “Kira-kira kita satu jam di sini, habis itu makan siang!” kata saya mencoba menenangkan suasana.
Kekhawatiran bertambah ketika kami diminta parkir sementara gedung museumnya belum kelihatan. “Ke museum naik kendaraan pick-up, nanti kembalinya naik motor…” katanya. Hmm, safety-nya bagaimana? Tapi, akhirnya jiwa petualang kami yang menang. Semua senang menikmati semilir angin di atas pick-up, toh jaraknya cuma 750 m saja.
Lalu, sampailah kami di Gerbang Gading pintu masuk museum, di bawah pohon beringin rindang. Kami membayar tiket masuk Rp8.000 per orang, dan langsung dipandu oleh guide. Kami masuk melalui jembatan yang mendaki ke atas, yang bak mesin waktu membawa kami ke masa Jurassic Park. “Tanah di sebelah kanan kita ini berusia 1,8 juta tahun…” kata guide menjelaskan. Astaga! “Di pohon pisang itu, tahun 2021 lalu masih ditemukan fosil kerbau kuno yang berusia ratusan ribu tahun!” katanya lagi. Wow!
Gerbang Gading pintu masuk museum
Pintu masuk museum
Lapisan tanah berusia 1,8 juta tahun
Guide menjelaskan lapisan tanah
Fosil yang ditemukan tahun 2021
Begitu masuk, saya langsung paham bahwa Museum Manusia Purba Sangiran sudah berbeda! Rupanya lokasi sekarang dibangun tahun 2008. Kami langsung disuguhi sebuah display interaktif dengan permainan cahaya di sisi kanan, di mana anak-anak bisa menyentuh layar dan menyaksikan apa saja yang terjadi di Sangiran selama 2 juta tahun belakangan. Gunung Lawu meletus… duarrr! Suara menggelegar dan cahaya menampilkan aliran lava. Anak-anak menonton dengan takjub!
Di sisi kiri nampak lapisan-lapisan tanah berbeda yang merupakan dasar ilmu arkeologi. Kita jadi paham, bahwa setiap lapisan mewakili zaman yang berbeda, dan betapa sulitnya pekerjaan ini. Tiba-tiba anak saya berteriak: “Papi, itu ada fosil dinosaurus!” katanya dengan semangat. Sebenarnya bukan dinosaurus, tapi itu adalah Stegodon, gajah purba yang hidup di Sangiran ratusan tahun lalu. Lalu ada lagi fosil buaya, gigi hiu, kemudian kuda nil, dan badak. Dan sebuah fosil menarik perhatian saya. “Ini adalah fosil tertua yang ditemukan di sini. Fosil penyu berusia 2 juta tahun!” kata guide kami. Luar biasa!
Fosil gigi hiu
Fosil penyu berusia 2 juta tahun
Museum ini ternyata dibagi tiga: Ruang pertama memamerkan “Kekayaan Situs Sangiran”, ruang kedua mengusung tema “Langkah-Langkah Kemanusiaan”, dan ruang ketiga memamerkan diorama tentang “Masa Keemasan Homo Erectus”. Satu ruangan saja sudah hampir satu jam! Dan memasuki ruangan kedua, kami masuk ke dunia yang baru: perjalanan evolusi manusia. Wow, seru!
“Langkah-Langkah Kemanusiaan”
Baik dewasa maupun anak-anak langsung semangat, melihat display interaktif mengenai sejarah penemuan fosil manusia di Sangiran. Kami tertegun menyaksikan Sangiran 17 --satu-satunya fosil Homo erectus di dunia yang memiliki wajah! Rongga matanya menatap kami dari 300.000 tahun yang lalu. Sejarah evolusinya diceritakan melalui display yang menarik, dari Homo habilis sampai Homo sapiens yang sekarang. Sejarah diceritakan dengan gamblang mulai dari Big Bang sampai batu meteor yang ditemukan di Sangiran. Saya jadi kepikiran: bagaimana kalau Jurassic Park berikutnya disyuting di Sangiran, dengan tema “membuat tentara baru dari Homo erectus”? Steven Spielberg, bayar royalti ya!
Guide dan display interaktif
Wajah Sangiran 17 memandang dari zaman purba
Bagian ketiga tak kalah menarik. Dimulai dari fosil gajah purba yang boleh dipegang --membuat kami merinding, bisa memegang fosil ratusan ribu tahun yang dulu pernah hidup, sambil foto tentu saja. Lalu, kami bisa melihat diorama mengenai bagaimana penggalian arkeologis dilakukan: persis di film Jurassic Park! Ada ilmuwan yang mengamati temuan fosil, ada yang sedang menggali tanah, ada yang membersihkan temuan, dengan display yang akurat sampai ke jembatan kayunya. Dan di hall terakhir, ada sebuah diorama raksasa yang menampilkan bagaimana wajah Sangiran 300.000 tahun lalu: sekeluarga Homo erectus sedang bercengkerama, sementara banteng, gajah, dan badak berlarian di cakrawala. Gemah ripah loh jinawi zaman purba! Inilah masa keemasan Homo erectus: di mana pada suatu masa begitu banyak insan hidup di sini sampai fosilnya banyak sekali ditemukan.
Menyentuh fosil
Diorama ekskavasi
Langkah terakhir, jangan lupa! Berfoto di nama museum dan juga plang UNESCO World Heritage Site no. 593: Sangiran Early Man Site, satu dari lima yang ada di Indonesia. Saya merenung, betapa luar biasanya Pulau Jawa ini: dengan letusan gunung berapi dan gempa yang begitu sering, bagaimana bisa ada sepotong tanah seluas 59 kilometer persegi yang tidak berubah selama 2 juta tahun? Dan mengapa pusat populasi Homo erectus 300.000 tahun lalu begitu dekat dengan Kota Solo, pusat budaya Jawa masa kini?
Meniru gaya Homo erectus
Dan cerita manusia purba masih belum berakhir! Di hall terakhir ada misteri baru: rekonstruksi Homo floresiensis, sang “hobbit” dari Flores yang jadi kontroversi dunia. Kebetulan pula, di hari yang sama, Komite Nobel memberikan hadiah Nobel kepada Svante Pääbo, seorang peneliti yang berhasil memetakan gen manusia purba Neanderthal dan Denisovan. Hebat! Yang ke Solo, yuk sempatkan ke Sangiran. Siapkan waktu 4-5 jam supaya bisa menikmati 5 museum yang ada di wilayah ini. Jangan lewatkan kesempatan melihat Jurrasic Park asli Solo, di Sangiran!
Latar belakang: Homo floresiensis, sang “hobbit” dari Flores
Tentang penulis: Harry Nazarudin atau biasa disapa Harnaz adalah salah satu pendiri Komunitas Jalansutra, penulis kuliner yang telah menulis buku Kimia Kuliner, dan bersama Bondan Winarno (kini telah almarhum) dan Lidia Tanod menulis buku 100 Mak Nyus. Harnaz juga memiliki channel Youtube “Kimiasutra” –Menjelaskan Kimia dalam Bahasa Manusia. Buku terbarunya yang diluncurkan tanggal 25 Maret 2021 adalah Nasgor, Makanan Sejuta Mamat.