Entah karena banyaknya tawaran tiket pesawat promo yang serius murahnya atau karena makin maraknya dunia sosial media, makin kesiniin makin banyak banget orang yang jalan-jalan, baik cuma di dalam negeri maupun ke luar negeri. Semua seperti berlomba-lomba ngunjungin tempat eksotis yang jarang didatengin orang lain. Semua juga nggak mau ketinggalan mengunggah foto-foto hasil ngetripnya baik real time maupun delayed, atau bahkan throwback. Dan yang lebih serunya, gaya jalan-jalannya pun beragam.
Ada yang puas kalau bisa solo traveling ke tempat-tempat terpencil dengan biaya superduper irit karena tidurnya aja ngemper di stasiun, terminal, pom bensin atau numpang di masjid. Makin dikit rupiah yang dikeluarin dianggap makin sukses dan hebat. Ada juga yang sebaliknya merasa bangga bisa jalan-jalan dengan fasilitas mewah mulai dari jemputan limusin di bandara, pemandu dan mobil privat yang selalu mengantar ke mana-mana sampai fasilitas hotel bintang 5 di negara mahal pula! Ini baru namanya jalan-jalan. Ngapain jalan-jalan kok cari susah, aya-aya wae....
Ada yang berasa makin keren kalau semua rencana trip diatur sendiri dengan bujet dan cara yang suka-suka; kadang sewa mobil, kadang naik kendaraan umum lokal; kadang nginep di resort, kadang juga cukup di homestay. Pokoknya suka-sukaku lah. Dari segi perencanaan, ada yang mengatur detil jam demi jam jadwal selama di tempat tujuan dan dolar demi dolar yang dikeluarkan. Makin mendekati antara rencana yang dibuat dengan kondisi riil yang dijalani makin seneng! Ada juga yang bangga bisa enteng aja pergi ke mana pun dengan go show, tanpa perencanaan sama sekali kecuali kota tujuannya yang udah ditetapkan. Bangga mengatakan bahwa dengan cara nekad itu, bahkan saat peak season sekalipun, dia nggak pernah nggak dapet penginapan.
Soal frekuensi juga masing-masing dengan seleranya. Ada yang seperti sinetron kejar tayang tiap wiken apalagi long wiken pasti ngetrip, ke tempat yang deket-deket aja tentunya. Tapi dia malah sudah kehabisan amunisi saat diajak ngetrip dengan waktu yang cukup panjang ke tempat yang jauh. Ada yang sekali liburan maunya 3 minggu, tapi karena keterbatasan cuti dan bujet maksimal cuma bisa 2X ngetrip dalam setahun. Sisanya gigit jari. Ada pula yang unlimited budget dan nggak perlu mikirin cuti, pergi sesering kapan pun dia mau, ke tempat dekat atau jauh, dengan biaya murah ataupun supermahal –yang pastinya bikin sirik banyak orang. Hayooo ngaku siapa?
Soal destinasi, beda-beda pula. Ada yang fanatik cuma keliteran di domestik aja karena berpendapat nggak ada lagi negeri yang seindah dan selengkap Indonesia, dan memang dia cuma rela buang duit hanya di dalam negeri aja. Ada yang bahkan ke Bali dan Yogya aja cuma sekali, dan ke Lombok maupun Belitung belum pernah –boro-boro ke Raja Ampat deh, tapi tiap kali liburan panjang yang setahun bisa 4X cuma maunya ke negeri-negeri asing yang bukan tujuan populer. Maklum, jam terbang ke luar negerinya udah tinggi, jadi kalau cuma Beijing, Tokyo, Paris, London dan New York sih udah nggak masuk hitungan dweeh.
Nah soal pilihan destinasi ini juga ada dua gaya berbeda yang saya amati. Yang pertama, orang-orang yang nggak punya destinasi khusus, pokoke ngikutin wae arah promosi maskapai penerbangan ke mana. Kalo AirAsia atau Garuda ada promo murah ke Kuala Lumpur, Tokyo, atau ke Perth, ya ke sanalah liburannya. Nggak bakal mereka ke Papua sampai kapan pun sebelum Garuda, Sriwijaya, Lion dan Xpress Air yang punya rute ke sana bikin harga promo. Rugi katanya kalau ke Jepang bisa jauh lebih murah kenapa harus ke Papua yang masih di dalam negeri? Dan pasukan pemburu tiket murah ini juga rela menjadwalkan liburannya ke Eropa atau Amerika Latin mengikuti kapan KLM, Emirates atau maskapai-maskapai lainnya ngeluarin harga superpromo, yang kalau nggak salah katanya ke Eropa bisa cuma 500 USD PP!
Kelompok yang kedua, orang-orang yang punya target, mimpi, cita-cita tahun ini pengen ke mana aja, tahun depan ke mana aja, dan sudah ngatur kira-kira perginya bulan apa dan sama siapa aja. Nggak peduli tiket pesawatnya promo apa nggak, ya tetap dibeli kalau emang udah jadwalnya untuk beli, semahal apa pun! Kelompok ini nggak akan tergiur begitu aja begitu melihat ada maskapai gelar promo. Mereka coba ngecek juga pastinya, promonya ke mana aja dan kapan periode terbangnya. Kalau ada yang cocok dengan agenda mereka, ya diburulah tiket murah itu. Tapi kalau nggak, mereka bergeming, berapa pun murahnya.
Soal durasi dan berapa tempat yang didatangi dalam satu trip, ini juga seru! Ada yang kayak dikejar target harus ke sebanyak mungkin tempat dalam waktu sesingkat-singkatnya. Alasannya, jatah cuti terbatas makanya setiap kali pergi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Setiap kali pergi cap paspor nambahnya lebih dari 5. Jadi nggak heran kalau dalam 10 hari bisa ke 14 kota di Eropa, misalnya (eh, ke Eropa sih nggak bisa banyak dapat cap paspor ya kalau yang dipergiin wilayah Schengen). Ada juga yang merasa menjadi real traveler kalau bisa berinteraksi selama mungkin dengan penduduk lokal, menyesapi denyut kehidupan masyarakat setempat dengan berdiam di satu kota berhari-hari bahkan berminggu-minggu! Nggak peduli kalau daftar negara/kota yang dikunjungi selama sekian bulan dalam setahun cuma sebelah tangan banyaknya.
Soal pengulangan pergi ke tempat yang sama juga beda-beda preferensinya. Ada yang anti dateng ke satu tempat lebih dari sekali apalagi berkali-kali karena merasa rugi daftar negara kunjungannya jadi nggak nambah. Ada yang kalau udah jatuh cinta sama suatu tempat, balik ke situuuuu terus ngetripnya.
Ada yang lebih bener, lebih bergengsi, lebih bermartabat, lebih bermakna dari semua pilihan itu? Menurut saya sih NGGAK! Siapa Anda bisa-bisanya mengklaim kalau jalan-jalan superngirit dan banyak berinteraksi dengan masyarakat lokal itu paling bener dan bermakna? Siapa pula Anda berani bilang paling bermartabat itu jalan-jalan dengan fasilitas mewah? Siapa juga Anda yang sok-sokan bilang yang lain mah jalan-jalannya cemen, too mainstream, nggak kayak saya yang ke tempat-tempat yang jarang orang lain datengin. Who are you in the world?
Jalan-jalan itu sama aja dengan makan. Masing-masing dengan pilihan dan kecocokannya. Nggak bakal pernah ada yang seragam. Kalau makan, memang ada makan yang salah, seperti kebanyakan jeroan, patut dihindari. Itu bukan lagi soal selera, tapi soal kesehatan. Nah kalau jalan-jalan, ada yang salahkah, atau ada yang berisiko? Sama dengan makan, jalan-jalan pun ada faktor lain di luar selera, yakni keamanan dan risiko lainnya. Misal, kalau kebanyakan jalan-jalan mewah risikonya ada: rekening bank tergerus. Tapi kalau pemasukannya besar dan mengalir terus bagai air, ya nggak masalah toh? Jadi jalan-jalan mewah itu nggak salah, buat orang tertentu.
Tapi, yep, jalan-jalan juga bisa jadi ada yang salah, menurut saya. Ada gaya jalan-jalan yang kurang bijak dan sotoy. Misalnya, Anda cewek muda, cantik dan seksi pula, nekad jalan-jalan sendiri tanpa perencanaan matang ke negara seperti, maaf, India yang rawan terjadi pemerkosaan. Nah, itu sih kata saya konyol dan sotoy. Cari gara-gara sendiri. Ya kalau beruntung nggak terjadi apa-apa sih, Amiiin, Anda sukses dan tentu merasa bangga. “Ah, gue aman-aman aja tuh blusukan ke kampung-kampung di India sendiri. Jadi India amaaan... Cewek jalan-jalan sendiri, nggak apa-apa, go ahead!” Aaah, sotoy kata saya mah! Terlalu pede, nggak perhitungan. Dan memberi rekomen yang bisa jadi menyesatkan dan bikin keblangsak orang lain. Saya nggak setuju. Jangan ditiru ya... Jangan ditiru...
Kalau di luar faktor risiko, terutama risiko keamanan; kalau hanya soal selera, menurut saya ya nggak ada gaya jalan-jalan yang salah ataupun benar. Nggak ada yang lebih hebat atau lebih cemen. Teruslah dengan gaya jalan-jalan yang Anda suka, Anda mampu, Anda merasa lebih nyaman, lebih pede. Keep on traveling with your own style. Just pack and go!
Wah bener banget nih.... Setujuuuu
2018-12-13Wah bener banget nih.... Setujuuuu
2018-12-13