CURUG PANGANTENNYA SIH BIASA AJA, TAPI PERJALANAN KE SANANYA LUAR BIASA 2017-07-27 00:00

 

Setiap perjalanan punya ceritanya sendiri, setiap tempat menyuguhkan kelebihannya masing-masing. Jadi bagi saya, bagi beberapa teman perjalanan saya, nggak ada tempat atau perjalanan yang jelek, yang nggak berkesan, yang bikin nyesel. Nggak ada itu...

 

Curug Panganten di Pangalengan, Bandung, Jawa Barat, kami datangi dengan susah-payah. Trekking ke curugnya sih nggak sulit, walaupun nggak sah dibilang gampang juga. Tapi proses pencarian jalan masuk ke sananya yang berbelit-belit. Dilema antara patuh sama Google Maps atau tunduk pada arahan akamsi (anak kampung sini) yang terkadang bertolak belakang –satu nyuruh ke kiri, satu instruksi ke kanan.

 

 

Berulang kali kami bertanya, berulang kali kami memutar mobil karena salah jalan. Untunglah pemandangan sepanjang perjalanan luar biasa cantik, sangat menghibur. Curug ini berada di kawasan Perkebunan Teh Kertamanah di Desa Margamulya, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Jadi hamparan kebun teh ijo royo-royo tersaji di sepanjang jalan. Kadang kebun teh diselingi juga dengan kebun kentang, atau lahan-lahan tanah merah yang baru akan digarap. Sepintas mirip pemandangan Dongchuan di Yunnan China. Salur-salur tanah merah diselingi hamparan hijau tanaman. Cakep lah pokoknya.

 

 

 

O ya, untuk mencari lokasi Curug Panganten, selain Perkebunan Teh Kertamanah, PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Wayang Windu milik Star Energy juga bisa jadi patokan. Sepanjang jalan menuju lokasi curug, di sebelah kanan kita akan melihat asap membumbung dari PLTP itu. Pipa-pipa saluran raksasa dari PLTP ini juga terlihat membujur di beberapa sisi jalan yang kami lalui.

 

Asap Wayang Windu terlihat di kejauhan

 

Singkat cerita, setelah sekitar 1 jam kami menyusuri jalan kampung berbatu, 3-4 kali salah ambil jalan, tanya-tanya pekerja ladang kentang atau warga sekitar yang kebetulan berpapasan dengan kami, akhirnya kami sampai juga di lokasi. Tapi baru lokasi untuk memulai trekking ke curugnya, belum lokasi curugnya.

 

Para pekerja ladang kentang yang kami tanyai

 

Di sini kami parkir mobil dan menuju warung di ladang warga

 

Tidak ada penanda apa-apa di situ. Kami menebak itu lokasinya setelah bertanya pada warga, lalu kami mendatangi satu warung untuk memastikannya. Ibu pemilik warung menawari anak lelakinya untuk menjadi pemandu kami, yang tentu saja kami sambut dengan senang hati. Jadi ditemani Kang Andri, kami pun memulai trekking melewati ladang sayur (ada kol, cabe, wortel dll), sedikit menanjak.

 

 

 

Kadang kami berpapasan dengan pengendara motor yang hendak ke ladangnya.

 

 

Jejeran pohon kayu putih di antara ladang penduduk menjadi spot yang bagus untuk berwefie.

 

 

Kemudian ada penanda nonpermanen bahwa Curug Panganten berbelok ke kiri, melewati pagar ladang yang pendek, lalu kami  pun memasuki hutan. Jalannya hanya setapak dan becek.

 

Melompati pagar pendek

 

Masuk jalan setapak di hutan

 

Jalur tanah becek

 

Di beberapa ruas ternyata ada jelatang yang duri-duri halusnya bikin gatal dan panas kulit, seperti di trek ke Gunung Tambora di Sumbawa NTB. Jadi hati-hati jangan sampai kesentuh jelatang ini ya...

 

Jelatang

 

Total trekking dengan medan yang tanjakan-turunannya termasuk moderat bagi orang kebanyakan hingga sampai ke curug sekitar 25-30 menit. Meskipun siang itu matahari cukup menyorot tapi udaranya segar dan adem.

 

ASAL MULA NAMANYA

Curug Panganten berupa dua aliran berdampingan di tebing batu yang tingginya sekitar 25 meter. Di bagian puncaknya berdiri sebatang pohon yang memisahkan kedua aliran air tersebut. Kalau mau berendam atau mandi-mandi bisa karena ada kolam kecil yang terbentuk di bawah curug. Aliran curugnya pun nggak deras, mengalir di dinding batu. At least itu kondisi saat kami datang. Kata pemandu sih, airnya biasanya lebih deras dari itu.

 

 

Saya pikir curug ini dinamai Panganten karena dua aliran airnya yang berdampingan laksana pengantin di pelaminan. Ternyata menurut Kang Andri, konon dulu, mungkin sekitar 100-an tahun yang lalu, ada sepasang calon pengantin yang jatuh dari atas curug. Waduh, angker dong ya... Entahlah... Itu hanya cerita turun-temurun. Yang jelas, karena kami datang saat sepi di hari kerja, nggak ada pengunjung lain selain kami berlima, suasana di curug terasa sedikit magis. Apalagi pas Kang Andri cerita, di bagian bawah tempat saya duduk, dekat aliran curug bagian bawah, terdapat gua. Dia berusaha menunjukkan pada saya mulut guanya yang agak tertutup batu besar. Entah gua Jepang atau gua apa itu. Masih misteri.

 

Pintu masuk gua

 

Aliran air ke bawah

 

JADI WORTH KAH DATANG KE CURUG PANGANTEN?

Kalau kalian kebetulan sedang berada atau lagi main-main di Pangalengan, bolehlah datang ke sini. Nikmati perjalananannya, hirup udara segar, leyeh-leyeh di curugnya yang adem. Tapi harap diingat, curug ini nggak ada yang mengelola, baik Pemda, karang taruna, swasta, maupun warga. Nggak ada tiket masuk. Juga nggak ada fasilitas apa pun. Dulu ada satu saung, tapi sekarang sudah nggak ada karena rusak. Kalau mau ke toilet atau cuci kaki, bisa numpang di toilet seadanya milik ibu warung. Jangan lupa bawa air minum dan makanan sendiri ya... Dan bawalah kembali sampahmu karena di curug nggak ada tempat sampah.

 

 

O ya, kalau mencari Curug Panganten di Google Maps, pastikan yang di Pangalengan ya... Karena ada curug bernama sama di Cisarua, Jawa Barat juga. 

Teks: Mayawati NH Foto: Dining Tantri, Mayawati NH, Raiyani Muharramah, Randy Ramdhany, Shinta Djojonegoro
Comment