SSSTTT... ADA YANG EROTIS DI LERENG GUNUNG LAWU! MAU LIHAT? 2016-12-11 00:00

 

Setelah lima tahun dilanda penasaran, akhirnya saya bisa menyempatkan diri melihat secara langsung candi yang letaknya di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah ini.Candi Sukuh, berada di ketinggian sekitar 910 meter di atas permukaan laut, persisnya di lereng barat Gunung Lawu. Kompleks candi yang memiliki luas 5.500 meter persegi ini berlatar agama Hindu.

Sewaktu saya ke sana harga tiket masuknya cukup murah, Rp 3.000 untuk wisatawan lokal, dan Rp 10.000 untuk turis mancanegara. Namun, per 1 Januari 2016 menjadi Rp 7.000 untuk wisatawan lokal, dan Rp 25.000 untuk wisatawan asing. Untuk menuju ke sana disarankan memakai sepeda motor atau membawa mobil pribadi. Sebab jarak tempuh dari jalan utama sangat jauh, mendaki, dan menurun. Dari Jalan Lawu, sekitar 9 kilometer. Saat hendak masuk ke pintu kompleks candi, pengunjung akan dibekali kain kampuh (kain tradisional Bali, berwarna hitam-putih) untuk dipakai di area candi. 

 

SEJARAHNYA                                                                                     

Sukuh ditemukan pertama kali pada 1815, ketika masa pemerintahan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Bingley Raffles. Kala itu Raffles menugaskan Residen Surakarta, Johnson, untuk mengumpulkan data-data sebagai referensi menulis bukunya yang terkenal The History of Java. Lalu, setelah pemerintahan Britania Raya di Hindia Belanda selesai, arkeolog Belanda, Van der Vlis meneliti Sukuh. Pada 1928 dilakukan pemugaran pertama candi ini.                                                                                                                                          

Para ahli menyepakati, Candi Sukuh dibangun abad ke-15, tepatnya pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit di bawah Prabu Stri Suhita (1427-1447). Namun versi sejarah lainnya mengemukakan kalau candi ini dibangun menjelang keruntuhan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu Brawijaya V, sebagai bangunan suci pelarian Majapahit. Saat itu Majapahit diserang Kerajaan Demak yang dipimpin Raden Patah, yang tak lain putra Brawijaya V sendiri. Candi ini dibangun atas perintah Brawijaya V sebelum dia mencapai moksa di puncak Gunung Lawu.

 

ARCA DAN RELIEF KONTROVERSIAL

Di sini terdapat relief dan arca yang menggambarkan alat kelamin laki-laki dan perempuan, yang menurut alam pikiran modern terkesan porno dan vulgar. Candi ini mungkin satu-satunya candi di Indonesia yang banyak “mempertontonkan” aurat manusia. Namun ini merupakan warisan religius nenek moyang kita sebagai simbol rasa syukur dan upaya mengusir roh-roh jahat. Sifatnya sangat sakral.

Kompleks Candi Sukuh terdiri dari tiga teras yang menghadap ke barat. Tiap teras dibatasi sebuah batu yang ditata dengan anak tangga kecil, tepat berada di tengah halaman setiap teras. Masuk ke dalam gerbang candi, saya disambut gapura besar yang berpahat garuda, ular, dan raksasa di kanan dan kirinya. Gapura ini dinamakan Paduraksa. Ada pula pahatan raksasa menggigit ular.

Relief simbol lingga (alat kelamin laki-laki) dan yoni (alat kelamin perempuan) yang bersentuhan, terpahat di lantai dalam gapura, mungkin salah satu yang menarik perhatian pengunjung. Simbol ini melambangkan kesuburan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, relief itu dipahat di lantai agar semua “kotoran” siapa pun yang melangkahinya hilang karena sudah kena “suwuk” (ruwat). Kini relief tersebut dihalangi pagar. Pengunjung hanya bisa melihatnya, tanpa bisa menyentuh apalagi melangkahinya.

 

Relief lingga yoni                                                                                                                                                   

Di teras kedua, di bagian selatan terdapat batu-batu yang menyerupai kursi dan meja. Di sebelahnya terdapat batu semacam gerabah untuk menumbuk padi. Terdapat juga sepasang arca yang mengapit anak tangga menuju teras ketiga. Ada pula arca ular yang sudah rusak. Namun di teras kedua ini tak ada relief dan tak banyak arca.             

 

TES KEPERAWANAN

Teras ketiga merupakan teras terakhir yang dianggap paling suci. Mata pengunjung pasti akan tertuju langsung ke bangunan besar mirip tempat pemujaan Suku Maya di Meksiko. Saat saya datang, bangunan utama Candi Sukuh yang menyerupai piramida yang ujungnya terpotong itu sedang dipugar total. Pengunjung tak bisa masuk ke dalamnya. Menurut salah seorang petugas keamanan di sana, pemugaran sudah berlangsung sekitar dua bulan, dan akan selesai tiga tahun mendatang. Pemugaran ini dilakukan, lantaran sebagian bangunan candi amblas ke dalam tanah, dan rentan roboh.

 

Bangunan utama Candi Sukuh sedang dipugar

                                                                               

Konon bangunan ini sebagai tempat tes keperawanan. Seorang calon mempelai perempuan akan naik ke tangga sempit yang ada di tengah bangunan. Jika saat melintasi tangga itu kain yang dikenakan robek, berarti perempuan tersebut tak lagi suci.              

Teras ini, di depan bangunan utama, serta sisi utara dan selatannya kaya sekali akan relief dan arca. Salah satu yang menonjol adalah panel-panel yang didirikan di sebelah selatan. Panel berjumlah lima ini mengisahkan kidung Sudhamala, tentang salah satu ksatria kembar dari lima ksatria Pandawa, Sadewa. Di sebelahnya ada arca dan panel berbentuk hewan gajah berpelana dan seekor babi hutan. Selebihnya, arca sudah rusak dan sulit dikenali bentuknya.                                                                                                                                                        

ADA ARCA YANG “MENGGANGGU” MATA

Di utara terdapat tiga arca manusia. Dua di antaranya berbentuk manusia garuda berposisi berdiri membentangkan sayap. Sayang sekali ketiganya sudah tak utuh, tanpa kepala. Relief manusia garuda membentangkan sayap banyak ditemui di depan bangunan utama candi. Di bagian belakang salah satu manusia garuda itu terdapat tulisan berbunyi lawase rajeg wesi duk pinerp kapeteg dene wong medang ki hempu rama karubuh alabuh geni harbut bumi kacaritane babajang mara mari setra hanang tang bango. Intinya, tulisan ini adalah suryasengkala yang menyimbolkan tahun 1363 Saka atau 1441 Masehi. Garuda-garuda ini merupakan bagian dari kisah pencarian air kehidupan yang ada di kitab Adiparwa, bagian pertama Mahabharata.

 

Tiga arca manusia garuda

                                                                                       

Arca tanpa kepala memegang penis yang sedang ereksi juga salah satu arca yang “mengganggu” mata pengunjung. Arca ini begitu vulgar. Tiga arca kura-kura raksasa yang bagian atasnya pipih juga menarik perhatian. Kura-kura, dalam kepercayaan Hindu, merupakan simbol bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Struktur kura-kura yang bentuknya menyerupai meja ini dahulu merupakan tempat menaruh sesaji.       

 

Arca tanpa kepala memegang kemaluan

                               

Bangunan kecil di hadapan bangunan utama bernama candi perwara. Ada lubang dan patung kecil tanpa kepala di bagian tengahnya. Di bangunan menyerupai tiang besar terdapat relief mirip tapal kuda dan dua sosok manusia yang di tengahnya saling berhadapan tak kalah eksotis. Relief ini merupakan simbol rahim seorang perempuan.

Batuan candi berbeda dengan candi-candi umumnya di Jawa Tengah. Batuannya berwarna agak kemerahan. Candi Sukuh, menurut dugaan para peneliti, dibangun untuk menangkal atau melepaskan kekuatan buruk yang memengaruhi kehidupan seseorang.  

 

           

Arsitektur Candi Sukuh dianggap keluar dari pakem Wastu Widya, sebuah kitab pedoman pembangunan candi Hindu. Dalam ketentuannya, candi Hindu mestinya memiliki denah bujur sangkar, tempat paling suci ada di tengah. Sedangkan Sukuh bentuknya memanjang, punden berundak, menghadap ke arah barat. Bagian paling suci ada di teras paling atas dan belakang. Kesan ini mirip budaya Megalitikum. 

Pada 1930, arkeolog Belanda yang banyak meneliti candi-candi Nusantara pada masa kolonial, Willem Frederik Stutterheim, memberikan pendapat tentang keberadaan Sukuh. Stutterheim mengatakan, kemungkinan pemahat candi adalah tukang kayu dari desa, bukan dari kerajaan. Kedua, candi dibangun agak tergesa-gesa. Bangunannya jadi kurang rapi. Ketiga, keadaan politik saat itu, Majapahit sedang terdesak pasukan Kerajaan Demak. Maka, candi tak bisa dibuat megah dan besar.

Anda tertarik mengunjunginya?

Teks & Foto: Fandy Hutari
Comment