PUTU BUMBUNG, CAMILAN KHAS YANG TAK LEKANG OLEH WAKTU 2019-07-03 00:00

 

Negeri kita Indonesia itu selain kaya budaya, juga kaya kulinernya. Kayaaaa banget malah! Coba aja tanya Trippers yang sudah keliling ke banyak negara, mana ada negara yang punya masakan sangat beragam seperti Indonesia dari mulai nasi goreng, rendang, aneka soto, aneka sate, hingga gado-gado. Belum lagi camilannya atau jenis kue-kuenya. Kalau mau disebutkan nggak kelar-kelar ini tulisan. Beberapa camilan khas Indonesia banyak yang dijual oleh penjaja keliling yang masuk ke gang-gang di komplek-komplek perumahan. Salah satunya penjaja kue putu bumbung, atau ada yang mengenalnya dengan sebutan putu bambu.

 

Begitu terdengar bunyi “Ngiiiiing....” di sore hari menjelang malam, nah itu pertanda penjual kue putu bumbung lewat. Bunyi ngiiiing itu memang ciri khas penjual kue putu bumbung, yang berasal dari kompor dan alat kukus khas yang terbuat dari kaleng minyak goreng yang dibolongi.

 

 

Baca juga: "Ke Madura Belum Lengkap Kalau Belum Nyicip Bebek Songkem"

 

 

Dari penjual yang kebetulan MyTrip temukan sedang lewat di sebuah perumahan di Pondok Gede Bekasi Jawa Barat (bukan di planet lain ya, hehe), MyTrip dapat cerita sedikit tentang kue putu yang gurih, enak dan ngangenin ini.

 

Pertama tentang resepnya secara rough saja. Bahan utama berupa tepung berwarna hijau itu berasal dari tepung beras dengan dicampur sedikit tepung ketan, dikukus dulu hingga setengah matang, lalu diayak lagi. Warna hijaunya berasal dari daun suji dan wanginya tentu dari daun pandan. Sementara gulanya yang jadi isinya adalah gula aren yang diiris-iris lalu ditumbuk hingga halus. Pokoknya bahan dasarnya dibuat melalui serangkaian proses. Uniknya, bahan dasar ini nggak diletakkan dalam baskom atau wadah, tapi dalam laci kayu, yang merupakan bagian dari gerobaknya.

 

 

 Bahan dasar tepung beras dan gula ditaruh dalam laci

 

Nah saat kita memesan, barulah si bapak penjual mengisi cetakan dari bambu yang diameternya sekitar 3 cm dan tingginya sekitar 5 cm dengan tepung berwarna hijau itu. Diisi setengah, lalu ditambah gula, baru ditutup lagi dengan tepung. Cetakan bambu berupa tabung itu bolong di kedua sisinya lho. Jadi saat mengisi, si bapak menutup lubang bawah dengan tangannya. Cetakan bambu yang telah diisi itu kemudian diletakkan di alat pengukus (semacam loyangnya) yang berupa kaleng minyak goreng yang dibolongi kecil saja agar uap panas dari kompor di bawahnya keluar dan mematangkan kue. Nah uap yang keluar dari lubang kecil itulah yang menimbulkan bunyi ngiiiing itu.

 

Cetakan bambu yang telah diisi bahan kue putu diletakkan di loyang dari kaleng minyak goreng, ditumpuk masing-masing dua cetakan

 

 

Karena tepung sudah setengah matang, proses mengukus sangat cepat. Pembeli nggak menunggu terlalu lama. Beli 20 potong kira-kira nggak sampai 10 menit kelar. Jadi ‘kan lubang kecil di loyang kaleng itu ada dua, pada setiap lubang diletakkan dua cetakan bambu bertumpuk. Sementara menunggu matang, si bapak mengisi lagi satu cetakan (jadi total jumlah cetakan ada 5). Begitu pengisian selesai, cetakan yang berada di bawah diambil, cetakan kelima yang baru selesai diisi menggantikan di tumpukan atas. Kue yang telah matang dikeluarkan dari cetakan dengan cara disodok kayu kecil. Begitu terus hingga pesanan kita selesai. Barulah tumpukan kue putu ditaburi kelapa parut yang telah dikukus juga (jadi kelapa parutnya nggak mentah).

 

Penampakan kue putu yang sudah matang, sebelum ditaburi kepala parut

 

 

Satu kue diharga Rp1.000. MyTrip tak menanyakan omzetnya, hanya menanyakan berapa liter tepung disiapkan per hari untuk mengisi penuh satu laci, jawabnya 3 liter. Dan biasanya selalu habis dalam durasi sore hingga malam hari. ‘Jam tayang’ penjual kue putu memang sore sekitar jam 6 hingga tengah malam, sehabisnya. Soalnya kalau nggak habis, tepungnya sudah nggak bisa dipakai lagi buat jualan esoknya. “Sudah bau asam,” jelas si bapak yang juga menjual kue klepon.

 

Bapak penjual kue putu di Pondok Gede Bekasi, asli Brebes Jawa Tengah

 

 

DARI MANA SIH ASALNYA PUTU BUMBUNG?

Menurut si bapak, kue putu bumbung ini asalnya dari Brebes Jawa Tengah. “Coba tanya penjual putu bumbung di sekitaran sini, semua pasti dari Brebes.”

 

Penasaran, MyTrip coba menelusuri. Dari Republika Online yang mewawancara seorang penggiat sejarah di Jelajah Jejak Malang (JJM), Mochammad Antik, didapat keterangan seperti ini. Sejarah kue putu dapat ditemukan di China Silk Museum. Kue ini disinyalir sudah ada sejak 1.200 tahun lalu, zaman Dinasti Ming berkuasa di negeri Tiongkok. Di sana putu dikenal dengan sebutan xian rue xiao long yang berarti kue dari tepung beras berisi kacang hijau dan dikukus dalam cetakan bambu. Nah lho dari China ternyata! Penganan ini dibawa ke Indonesia pada masa awal perkembangan Islam atau kemunduran Kerajaan Majapahit, sekitar 1368 sampai 1600-an. Isian kacang hijau diganti gula merah karena lebih mudah didapat.

 

Di Indonesia sendiri nama putu muncul --untuk menyebut kue dari China itu-- dalam naskah sastra lama, Serat Centhini yang ditulis tahun 1814 di masa Kerajaan Mataram. Kalau ditelusuri, penyebutan nama putu terjadi di sebuah desa yang kemungkinan besar berada di Probolinggo, Jawa Timur.

 

Kue putu bumbung siap santap, sangat menggiurkan

 

 

Ada juga sumber yang menyebutkan putu bambu ini khas Medan. Walaupun yang di Medan warnanya putih, dan taburannya gula pasir, bukan kepala parut.

 

Jadi sebenarnya dari mana asal kue putu ini? Ya sudahlah nggak perlu dipermasalahkan. Yang penting camilan ini semoga terus bertahan dan kita dapat terus menikmatinya.

 

Baca juga: "Pecel Tumpang Kediri, Pingin Nambah Lagi dan Lagi"

 

Teks & Foto: Mayawati NH
Comment